![]() |
Ilustrasi seorang Raja Buol yang berhadapan dengan serdadu Belanda di depan Istana Raja Buol - Gambar digenerated dengan teknologi AI |
Anak Raja, Lahir dari Darah Bangsawan
Datu Mula lahir dari garis keturunan bangsawan yang terpandang. Ia adalah putra Raja Ndubu Amas — lebih dikenal sebagai Ndubu III — yang memerintah Buol dari tahun 1818 hingga 1828.Ibunya adalah putri dari Raja Kalui, yang tercatat juga sebagai Raja Buol pada 1786-1986.
Sejak kecil, Datu Mula tumbuh dengan didikan adat, kepemimpinan, dan nilai-nilai keberanian.
Menjadi Raja di Tengah Ketegangan Politik
Tahun 1830, Datu Mula naik takhta sebagai Raja Buol. Di masa pemerintahannya, situasi politik cukup genting.Ketegangan antara kerajaan Buol dan Limboto semakin memanas, terutama terkait wilayah Sumalata — daerah yang kaya akan emas. Pada saat itu Sumalata masih merupakan wilayah Kerajaan Buol.
Di sana, rakyat Buol sering mendapat gangguan saat melakukan pendulangan emas. Bahkan, rumah-rumah mereka dilempari batu saat malam tiba.
Konflik ini memuncak dan pecahlah Perang Sumalata — sebuah tragedi yang menelan banyak korban dari kedua belah pihak. Konon, darah para prajurit mengalir deras hingga mampu menghanyutkan lesung.
Konflik ini memuncak dan pecahlah Perang Sumalata — sebuah tragedi yang menelan banyak korban dari kedua belah pihak. Konon, darah para prajurit mengalir deras hingga mampu menghanyutkan lesung.
Raja yang Teguh pada Prinsip
Alih-alih meredam konflik dengan tunduk pada Belanda, Datu Mula memilih membela kehormatan rakyatnya.Ia menentang keputusan Belanda yang secara sepihak menyalahkan Buol dan memindahkan batas wilayah dari Sumalata ke Huludo Bongo — sebuah kebijakan yang sangat merugikan Buol.
Datu Mula menolak keras, tetapi keberanian itu justru membuatnya menjadi target. Tahun 1839, Belanda menangkap dan mengasingkannya ke Pulau Jawa, tepatnya ke Bandung.
Meski berada jauh dari tanah kelahirannya, Datu Mula tetap dianggap sebagai raja oleh rakyat Buol.
Mereka percaya, pemimpin mereka tetap memerintah dari kejauhan melalui seorang wakil yang ditunjuk secara adat.
Dalam pengasingan tersebut, Datu Mula tidak sendiri. Ia ditemani oleh anaknya, Lahadung, yang kelak akan menjadi Raja Buol pada tahun 1858 hingga 1864.
Datu Mula dijuluki juga sebagai Ta Pinobolyango atau orang yang dibawa ke seberang
Digantikan dengan Luka di Hati Rakyat
Kerajaan Buol diteruskan oleh sepupu Datu Mula, Elamo — yang kemudian bergelar Elam Sirajuddin dan memerintah dari tahun 1843 hingga 1857.
Kehilangan seorang raja yang dicintai bukanlah hal mudah bagi rakyat Buol. Banyak yang menangis, banyak yang marah, tapi juga banyak yang terus mendoakan agar suatu hari Datu Mula bisa pulang.
Sayangnya, harapan itu tak pernah terwujud. Ia wafat pada tahun 1941 di tanah rantau — jauh dari kampung halamannya, dari istananya, dan dari rakyatnya yang selalu setia menantinya.
Warisan Datu Mula: Keberanian dan Harga Diri
Datu Mula bukan hanya seorang raja. Ia adalah simbol keberanian, kehormatan, dan perlawanan terhadap ketidakadilan kolonial.Kisahnya mengajarkan kita bahwa mempertahankan kebenaran kadang membutuhkan pengorbanan yang tak kecil — bahkan harus dibayar dengan pengasingan dan kehilangan segalanya.
Kini, nama Datu Mula mungkin tak banyak disebut dalam buku sejarah nasional. Namun di hati masyarakat Buol, namanya tetap abadi.
Kini, nama Datu Mula mungkin tak banyak disebut dalam buku sejarah nasional. Namun di hati masyarakat Buol, namanya tetap abadi.
Ia adalah raja yang tak pernah tunduk, raja yang wafat jauh dari tanah leluhurnya, namun tetap hidup dalam ingatan dan semangat rakyatnya.
Jika merujuk pada dokumen kontrak dagang antara kerajaan Buol dan pemerintah kolonial, Datu Mula tercatat telah menandatangani perjanjian pengiriman emas ke Belanda sejak 29 Mei 1829.
Hal ini menunjukkan bahwa ia telah naik takhta sekitar awal Mei tahun tersebut.
Berselang dua tahun, tepatnya pada 1831, pecahlah konflik sengit antara Buol dan Limboto di wilayah Sumalata.
Datu Mula bersikeras mempertahankan Sumalata sebagai bagian dari wilayah Buol dan menolak tunduk pada tekanan Residen Belanda.
Keteguhannya berujung pada hukuman: ia diasingkan ke Pulau Jawa pada tahun 1832 dan akhirnya wafat di Cianjur, jauh dari tanah kelahirannya.
Pasca pengasingan Datu Mula, wilayah Sumalata diserahkan Belanda kepada kerajaan Limboto.
Tahun 1834, Raja Mohammad Tsabaki Udin atau dikenal pula sebagai Elamo Sadihuding, tercatat menandatangani kontrak kerjasama baru dengan pemerintah kolonial.
Artinya periode pemerintahan Raja Datu Mula sekurang-kurangnya 1829 - 1834.
Sumber:
- Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1996/1997), Sejarah Daerah Sulawesi Tengah.
- https://adoc.pub/bab-iv-hasil-penelitian-dan-pembahasan-41-terbentuknya-keraj.html
- Arsip ANRI daftar kontrak raja-raja nusantara dengan Belanda @Dhawan Matoka
Sebuah perjuangan yang sungguh luar biasa
BalasHapusZaman itu jika tidak sejalan penjajah, selesai ya mas
Hapus